Kamis, 28 Juli 2022

40 minggu


Hai nak...

Hari ini kamu berusia 40 minggu 1 hari. Ibu harap-harap cemas menanti kamu terlahir ke bumi. Bagaimana ibu bisa begitu jatuh cinta padahal kita belum berjumpa.

Anak ibu yang shaleh. Kapanpun kamu siap, ibu dan ayah insyaallah sudah siap menyambutmu. Sehat untuk kita sampai saat pertemuan tiba, dan untuk hari-hari selanjutnya ibu harap kita selalu di beri kesehatan, dilimpahkan cinta kasih.  

Ibrahim, anak ibu yang baik, shaleh, pinter, pembawa berkah, pembawa rezki buat keluarga kita. Ibu sudah rindu. 🥰

Senin, 31 Januari 2022

Curhatan 1

 Pagi tadi liat twitter, tergugah buat tulisan ini. Ada satu twitt yang aku tangkap layar, kemudian aku jadikan status WA. Tulisan itu di tulis oleh akun @faridgaban, isinya begini "EKSPLOITASI. Dokter/perawat yg direkrut RS berorientasi profit lalu di gaji murah eksploitasi. Sama eksploitatifnya konsep guru honorer. Saya dukung siapa saja yg melawannya. Pada saat yg sama saya tidak sepakat dengan mereka yg menyamakan kerja sukarela sbg perbudakan".

Aku pikir twitt tersebut terlahir dari kasus guru honorer yg mengancam akan membakar sekolah karena gajinya tidak di bayar. Guru tersebut sudah mengabdikan diri 24 tahun di sekolahnya. 

Dengan kasus itu saya teringat kasus bapak saya sendiri, yang berjuang sejak 1997 sampai dengan akhir tahun kemarin. Kurang lebih sama dengan guru di kasus tersebut, bapak saya sudah 24 tahun juga mengabdi di sekolah negeri, tapi dengan tugasnya yang mulia itu dia hanya di gaji di bawah 1 juta/ bulan. Sungguh ironis. Tapi dia masih bisa menyekolahkan anaknya di kebidanan, yg biaya kuliahnya saja bagi saya tidak masuk akal apalagi jika dibandingkan dengan gajinya. 

16 tahun saya dari sekolah SD, SMP, SMA, sampai lulus D4. Bapak saya tidak mau mencantumkan profesinya sebagai guru di biodata manapun yang saya isi. Bukan ia tak mencintai pekerjaannya, saya yakin dia amat cinta (24 tahun mengabdi dengan gaji yang bahkan lebih kecil dari biaya uang jajan anaknya tidak mungkin tidak cinta dan tetap bertahan). Itu semua terlebih karena gaji yang ia terima memang sangat tak masuk akal untuk biaya kuliah saya yg per semesternya saja bisa menghabiskan 7-8jutaan, belum lagi uang makan dan asrama.

Beberapa bulan lalu ia dinyatakan lulus jadi PPPK, perjuangan yang begitu panjang, berharap jadi abdi negara sejak lama. Dan di saat usianya yg sudah menginjak 52 tahun lebih, dia baru dinyatakan lulus.

Menangis saya sejadi-jadinya ketika pengumuman itu. Tidak terbayang perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun mendambakan itu semua. Walaupun belum diberi SK secara resmi, tapi itu setidaknya kabar baik yg sudah 24 tahun lebih keluarga kamu tunggu-tunggu.

Dan saya kemudian terjebak juga di lingkaran itu. Dengan nasib yang sedikit lebih baik. Walaupun dengan pengeluaran yg dikeluarkan untuk biaya kuliah, iuran organisasi per bulan, tuntutan melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi, bayar ini itu untuk membayar surat izin praktek, belum lagi pelatihan dan seminar, tentu tidak sebanding. 

Dulu ketika pertama bekerja, saya bekarja di rumah bidan, menjadi asisten. Dengan gaji awal 750 ribu/ bulan. Dengan sistem kerja 24 jam, dan libur 1 bulan 4 hari. Ironis memang. Bekerja selama 5 bulan kemudian sayapun pindah. Kerja di klinik dokter, jam kerja lebih manusiawi, 1 hari di bagi 3 shift, dengan gaji awal 1,1 juta/bulan. Sedikit lebih baik, tapi kalau hitungannya sebagai penjual jelas tidak balik modal. 

Saya berpindah kerja lagi jadi asisten bidan lagi, gaji awal lumayan sekitar 1,6 juta / bulan. Tapi tentu tuntutan kerja lebih berat, bahkan jika dibandingkan dengan yg bekerja 24 jam. Padahal di situ sistemnya 2 shift, orang lain 7 jam, dan saya 17 jam. 

Sekarang saya berpindah lagi di RS swasta, baru berjalan 10 bulan. Gaji pokok saya lebih kecil 1,3 juta/bulan, dengan uang makan dan transport menjadi 1,8 juta/bulan. Terdengar masuk akal kalau dibandingkan dengan apa yang saya kerjakan. Karena saya belum ada pasien kebidanan di sini. Tapi kalau perhitungan manusia, tentunya tetap tidak cukup. 

Mungkin di luar sana banyak tenaga kesehatan yang gajinya sangat tidak wajar juga. Mungkin dengan beban dan medan lapangan yg lebih berat. Tapi, Apa kita benar hanya di eksploitasi oleh pemilik RS-RS swasta itu? Bisa jadi iya. Sementara organisasi profesi yang setiap bulan harus kita bayar iurannya, tidak bisa membantu kami untuk mendapatkan keadilan. Jika dibandingan dengan pegawai pabrik saya angka itu kecil sekali, hanya ½ dari gaji yg mereka terima perbulannya. Tapi kita harus mengeluh dan mengadu ke siapa? Dinas Ketenaga kerjaan juga? Dinkes? Atau ke siapa? Kita bahkan bingung siapa yg menaungi kita, karena kalau dari ketenaga kerjaan, gaji kita jelas jauh di bawah UMK daerah. Kalau Dinkes. Pedulikah mereka dengan kita? Mereka jelas-jelas tahu fakta ini, mungkin mereka juga salah satu dari orang-orang yg menggaji kita di bawah UMK.

Sungguh ironis, 2 elemen penting. "Pendidikan dan Kesehatan". Bahkan pelakunya saja tidak dihargai dengan pantas. Pantas saja pendidikan dan kesehatan kita masih tertinggal jauh dari negara-negara lain. 

Semoga segalanya segera berubah.